Jadi gue punya dua karakter yang sangat menarik; namanya Aprilianda (April/cewek) dan Gallant (cowok). April pernah muncul di sini: https://logikatanpacela.blogspot.co.id/2014/11/lol-cerpen-untitled.html
Di kisah utamanya, mereka berdua umurnya masih 19 tahun, sempat sekelas di kelas 12 SMA, tinggal di kompleks perumahan yang sama hanya berbeda jalan saja, dan ketika upacara kelulusan, April dengan santainya menyatakan perasaannya pada Gallant—yang tentunya adalah cowok paling populer karena dia ganteng dan ramah—membuat Gallant terbengong-bengong nggak nyantai karena, hei, sejak kapan teman sekelasnya yang merupakan salah satu cewek paling kalem, paling murah senyum tapi tidak pernah benar-benar ikutan menggila bareng, cewek yang tidak mau pergi ke sekolah bareng meskipun Gallant tidak keberatan untuk memboncenginya ini… suka padanya?
Dan lagi, apa-apaan si April?! Dengan santainya menambahkan, “Gue cuma mau ngasitau aja. Lo nggak usah jawab apa-apa, begini udah cukup.”
Nah.
Klise, tapi biasanya si cowok yang ngomong begitu. Bukan si cewek.
Tapi ya namanya juga Bamby.
MuahahahahHAHAHA.
Dalam rangka membangkitkan semangat menulis dengan Bahasa Indonesia dan #31HariMenulis, gue mau mencoba membuat baaanyaaaaak skenario untuk kedua orang ini! Semoga terwujud! Skenarionya tidak berkaitan satu sama lain! Semacam cerpen yang bahkan lebih pendek dari cerpen! Skenarionya ada yang gue ambil dari Tumblr ada juga produk sendiri~
1: HOGWARTS
Untuk Azka
“Hi.”
Cewek itu menoleh ke arah Gallant
yang sudah siap dengan Cengiran Tampan Khasnya, dan ia balas tersenyum dengan
manis; bibirnya yang tipis berwarna merah menyala dan kedua matanya yang bulat
besar itu membentuk separo bulan sabit.
“Hi,” katanya singkat, kemudian
mencopot sejuntai kabel putih dari telinga kirinya.
Gallant melebarkan pintu kompartemen
dan bertanya, “Kosong, ya? Gue boleh duduk bareng lo?”
“Silakan,” jawab cewek itu dengan
santai, mengangguk pada bangku kosong di hadapannya. Gallant memerhatikan ada
sebuah koper berukuran sedang di atas kepala cewek itu, berwarna sama merah
dengan bibir tipisnya. Ia tidak tahu apa fungsi dari kabel putih yang cewek itu
pakai di telinganya, dan apa benda yang tengah cewek itu pegang; sebuah
perangkat muggle canggih, mungkin? Bentuknya
kotak, tipis, pink.
“Thanks,
kompartemen lain berisik banget.” Gallant memilih alasan paling masuk akal yang
bisa dipikirkannya, dan ia menutup pintu dengan pelan.
“No
problem,” kata cewek itu lagi, masih dengan santai, dan Gallant berpikir
mungkin karena pembawaannya yang kelewat santai inilah yang membuat
teman-temannya merasa perlu untuk mengerjai Gallant.
Untungnya Gallant juga kurang
kerjaan.
“Anyway,” Gallant berdeham, “gue
Gallant. Gryffindor tahun ketujuh.” Ia menyodorkan tangan kanannya dan cewek
itu pun menyalaminya dengan mantap namun singkat. Tangannya halus dan wanginya
mirip apel.
“April, Ravenclaw. Tahun ketujuh
juga.”
“Masa sih kita seangkatan? Gue kayaknya
belum pernah liat lo, deh!”
“Maksud lo belum pernah lo cium
kali?”
Oh,
shit.
Gallant tertegun. Jantungnya berdegup
tak keruan—kepalanya kosong dan tenggorokannya mengering. Biasanya… biasanya tidak pernah ada cewek yang
mempermalukannya seperti ini; biasanya setelah Gallant menyatakan kalimat
pamungkasnya tadi, seharusnya, cewek-cewek
lain akan merasa perlu untuk menarik perhatian Gallant lebih jauh lagi dengan
cara menyentuh lengannya atau tertawa keras-keras ketika Gallant melontarkan
lelucon tak lucu sama sekali—karena mereka melihat sebuah kesempatan untuk bisa
jadi lebih dekat dengan Muhammad Gallant, kapten tim Quidditch Gryffindor yang
sangat populer, bukannya menyatakan
kalimat pamungkas balasan yang justru mengalahkan upaya Gallant untuk membuka
celah dan memastikan reputasinya sebagai Yang Tak Pernah Ditolak.
“Ahh…” Gallant meringis, menggigit
bibir bawahnya dan mengusap tengkuk lehernya; tidak tahu harus berbuat apa. “Kedengeran,
ya?”
April tertawa kecil, mengiyakan
tanpa berkata apa-apa. Pipinya yang penuh itu membulat, membuatnya terlihat
sangat manis. Ia tidak tampak gugup sama sekali, hanya masih menatap Gallant
dengan santainya, seolah ia menantang Gallant untuk melanjutkan apa yang telah
dimulainya dengan sangat buruk.
“Sori banget,” Gallant berkata
dengan suara sangat pelan, “gue sama temen-temen suka gabut kalo baru masuk.”
Ia tidak berani mengangkat kepalanya. Ngomong-ngomong, April memakai sepasang
sepatu muggle yang sangat keren. Pergelangan
kakinya yang putih itu dibalut kaus kaki transparan. Gallant teringat akan mata
pelajaran Muggle Studies dan ia pikir
fashion muggle kadang sangat aneh.
“Nggak apa-apa.”
“Seriusan, sori banget, ya.”
“Iya.”
“Lo mau jajan sesuatu nggak? Gue beliin,
ya?”
“Nggak usah, gue bawa Oreo.”
“Oreo?”
April tersenyum dan Gallant
menangkap kesan bahwa ia luar biasa senang dengan topik baru ini. Ia meletakkan
benda muggle kotak tipis pink di
bangku, dan mengaduk isi tas punggungnya yang berwarna sama merah dengan bibir
tipisnya.
“Oreo itu biskuit. Ada isian
krimnya,” kata April sambil merobek bungkus biru Oreo. “Cobain deh, enak.” Ia mengambil
satu keping biskuit bulat dengan isian krim berwarna ungu dan merobek lebih
lebar agar Gallant bisa dengan mudah mencicipi.
“Eh, iya.” Gallant terbelalak
setelah satu gigitan. “Kok dingin gini, sih? Agak asem juga.”
“Enak, kan?” April tersenyum. “Gue stock Oreo banyak kok kalo lo mau lagi,
cukup sampai akhir tahun. Biaya pengiriman ke Hogwarts mahal banget soalnya.”
“Lo dari Indonesia, ya?” Gallant
bertanya, menjilati jempolnya. “Gue juga orang Indonesia, sih. Tapi mami papi
udah dua puluh tahun di London dan udah jadi warga negara Inggris.”
“Hmm,” April mengangguk, “pantes
aksen lo native banget.”
“He he iya.” Gallant nyengir, senang
karena tidak ada rasa canggung yang tersisa di antara mereka. April benar-benar
santai dan kalem, meskipun Gallant
cukup yakin kesan pertama yang ia berikan jauh dari kata ‘menyenangkan’. Apabila
posisi mereka ditukar dan ia adalah April, ia tidak akan mau meladeni seorang
cowok kurang kerjaan yang menerima begitu saja tantangan teman-temannya untuk
mencium cewek manis yang duduk di kompartemen 31.
Gallant mau dicium Dementor saja rasanya!
“Erm, apa nama kampung halaman lo di Indonesia?”
“Meikarta.”
“Meikarta?”
Tiba-tiba April mendengus. “Nggak,
sori,” ia terkikik geli sendiri dan Gallant khawatir ia akan tersedak Oreo. Ada
semburat pink di wajahnya dan setitik biskuit hitam Oreo di ujung bibir
kanannya. “Sori. Gue dari Bali. Mungkin
lo pernah denger?”
Gallant memberi kode pada April
dengan cara menyentuh ujung bibirnya sendiri dan April mengusapkan punggung
tangannya ke bibirnya, mengangkat kedua alisnya yang digambar rapi.
“Udah ilang,” jawab Gallant, “mami
gue bilang mau ngajak liburan ke Bali kalo nilai-nilai O.W.L. gue minimal Acceptable.”
“Emang nilai lo apa?”
“Beberapa ada yang Poor, ada yang Acceptable.”
“Exceeds Expectations?”
“Nggak ada bahahaha!”
April berhenti mengunyah. Ia menelengkan
kepalanya seolah berpikir keras, dan akhirnya bertanya dengan gaya Santainya, “Lo
mau belajar bareng gue?”
Gallant tergagap-gagap, “S-Serius?”
“Serius. Siapa tau gue ketularan populer
kalo kita keliatan bareng di perpustakaan.”
“Pasti lah, lo kan manis.”
April tertawa lebar. Bahunya terguncang
dan ia bertepuk tangan girang. Deretan giginya putih dan rapi dan seperti
dirinya secara keseluruhan; mungil.
Gallant dibuat melongo, tidak yakin dengan pemandangan luar biasa tidak
biasa yang terjadi detik itu juga.
“Cieeeee gue dibilang manis
sama Pangeran Hogwarts.” April mendengus, terdengar sangat bangga dengan
lelucon privatnya. “Kapan lagi, kan?”
Sebenarnya Gallant tidak masalah jika harus sering-sering mengingatkan
April betapa manis dirinya, tapi mungkin lain waktu saja, lihat nanti bagaimana
ke depannya.
END