Gue cuma peduli sama bola. Arsenal? Gue cinta mati (dan akan gue bahas panjang lebar di entri yang lain haha).
Selama karantina dan work from home ini, gue berusaha buat expanding diri cailah. Termasuk soal tontonan. Netflix punya The Last Dance; dokumenter basket khususnya Chicago Bulls dengan mega bintangnya Michael Jordan. Ada juga beberapa nama yang gue nggak kenal dan baru tau saat nonton; Scottie Pippen dan Dennis Rodman to name a few.
Zaman gue sekolah dulu, ada preconception soal anak basket tuh arrogant bastard gitu. Kayaknya karena popular culture juga. Padahal mami gue pernah bilang gue itu anak yang sok, harusnya cocok jadi anak basket, and I could play just fine. So it’s kinda ironic that I wasn’t in the team during my high school days.
Gini, sejak SD – SMP – SMA, lo boleh bilang gue sports prodigy. Lo sebutin semua jenis olahraga, gue bisa kuasai dengan mudah. Not exactly the best, tapi lo bakal mau gue ada di tim lo kalo lo emang nyari menang.
Anyway, basket. Gue yang sok (kata mami gue), bisa dan ngerti aturan basket dan yang ikut ekskul basket biasanya anak-anak sombong. Cocok lah, ya. Tapi gue cuma pernah ikut ekskul basket pas SMP dan gue punya cerita lucu soal milih nomor punggung, yang mungkin jadi alesan sepele di kemudian hari yang bikin gue nggak menggeluti basket lagi.
Angka favorit gue 13. Coach unofficial pas SMP bilang itu nomor biasanya di reserve sama yang ‘jago’. Azek I was like sit down and be humble ye kan, dan akhirnya gue ga pilih itu nomor. Gue mau ‘4’ kayak tokoh anime basket yang gue bahkan nggak inget namanya siapa, dan again, katanya itu angka buat yang ‘jago’ doang. Yaelah.
Terus gue lupa kenapa bubar gitu aja basket basketan pas SMP haha.
Moving forward ke SMA. Sekolah gue jauh banget. Literally jauh. Masuk jam 6:30 pagi dan lo tau gue berangkat dari rumah jam berapa? Jam 5 subuh bareng orang-orang kerja. Gue naik angkot, PP. Sekali jalan bisa makan waktu 1,5 jam sendiri—so forgive me if I didn’t have it in me buat menggeluti apa pun pas SMA.
The Last Dance ngikutin kisah para legenda basket itu sejak mereka masih kecil. And honestly speaking, dengan sisa-sisa sifat ‘sok’ yang mami gue pernah bilang ke gue, I'm just gonna say it flat out LOL that I could have been them. Again, not necessarily the best, but at least I could have had tasted Glory with a capital G. I knew I was capable. Tapi namanya juga manusia, pasti akan nyari sesuatu buat disalahin.
Dan gue punya 3:
1. 1. My family wasn’t really glimmering in fortune before. I didn’t quite have the nicest things. Tabungan gue sih tetep bisa buat beli komik Eyeshield 21 tiap 2 bulan sekali. Gue inget banget pas SMA sengaja beli sepatu basket ukuran 41 karena harganya murah BAHHAHA dan gue beli pake uang sendiri. Maksud gue, karena nggak ada spare money buat ngedukung kegiatan yang gue suka; kemana-mana juga jauh, macet dll, ya goodbye aja.
2. 2. The lack of enthusiasm from my parents, karena point pertama bahahah. Papi mami gue kerja, adek-adek gue masih kecil semua pula.
3. 3. Injuries. Anj banget lah emang nih kaki gue dua-duanya. Terutama dengkul BAHAHHAHA. Terus gue pake kacamata (idk why this was an excuse).
Dibilang nyesel… ya gimana udah masa
lalu banget LOLLLLLL, gue cuma dokumentasikan aja di blog sebagai pelajaran. Salut
parah sama atlet-atlet di luar sana. They are entitled to arrogance sih jujur aja. Buat gue, bullshitting your way at work sampe lo bisa jadi entah pebisnis atau karyawan sukses adalah suatu skill, it's true, tapi tetep hard work-nya seorang atlet yang dapet standing ovation dari gue, a neither of the two lol.
Ternyata lumayan sedih juga ya haha.
See you tomorrow!
No comments:
Post a Comment