Monday, October 11, 2010

review film: The Bicycle Thief (1948)

tugas matkul kajian film.


ini yang gua tulis di notes FB, gua tag ke dosen cak budhy:


MANUSIA MEMANG MENARIK


Membaca kata ‘neo-realisme’ sebagai genre film The Bicycle Thief—sel-sel kelabu di otak ini segera beranggapan tentang segala ke-absurdan yang diusung Andy Warhol dan Salvador Dali (pikiran ini tetap ada bahkan setelah saya menonton filmnya).

Tentu saja, hasil sebuah kesotoyan jarang sekali benar.

Menurut dewa Wikipedia, intinya, genre ini menceritakan tentang kisah-kisah kaum buruh yang serba kekurangan, difilmkan di lokasi, dan biasanya memakai pemain yang bukan aktor profesional. Ketiga aspek krusial tadi cocok dengan plot film produksi tahun 1948 ini.

Berhubung tugasnya adalah berkomentar, baiklah.

Frustasi. Benar-benar frustasi rasanya selama satu setengah jam mengerutkan kening, ikut melenguh kesal, dan meninju udara di ruang multimedia yang untungnya ber-AC itu minggu lalu. Apalagi dengan ending yang ahjksdjkajksdajk sekali. Vittorio de Sica jagoan. Dia bisa mengarahkan Lamberto Maggiorani yang adalah pekerja pabrik, memerankan Antonio Ricci; seorang kepala rumah tangga yang jujur, tidak lugu, dan malang. Kesan pertama saya pada Oom Antonio, dia adalah karakter yang keras. Saya tidak bersimpati padanya di awal film. Tapi saya juga sudah bisa menebak kalau Antonio sebenarnya hanya menginginkan yang terbaik untuk keluarga kecilnya; bahwa hatinya lembut dan masa depresi paska PD II yang menyebabkannya terlihat getir.

Bruno Ricci tidak boleh dilupakan. Kelihatan sekali karakternya ini mengagungkan ayahnya. Dapat dilihat pada scene hari pertama Antonio masuk kerja; sepertinya saya pernah menonton scene ayah-dan-anak-memakai-seragam-bersama di film lain, film zaman sekarang, yang berarti scene keren macam itu bahkan sudah ada berpuluh-puluh tahun yang lalu. Mantap jaya. Bruno juga setia menemani ayahnya mencari sepeda ke alun-alun kota Roma. Kena tampar, memang, tapi Bruno tetap berada di samping ayahnya ketika Antonio diarak massa karena kedapatan mencuri sepeda yang tergeletak di depan gedung. Air matanya membuat bapak pemilik sepeda membatalkan niatannya untuk membawa Antonio ke kantor polisi.

Saya kira, Tante Maria, selaku istri daripada Oom Antonio adalah karakter yang tegar. Sayang proporsi tampilnya sangat singkat. Saya senang karena dia bergerak cepat ketika Antonio bilang dia bisa bekerja asalkan punya sepeda; menjual seprai mas kawin untuk ditebus dengan uang dan dibelikan sepeda bekas. Tidak mungkin lupa reaksi teman-teman melihat uang masa itu yang ukurannya sama seperti kertas HVS.

Ngomong-ngomong, dua kali saya kecele dengan jalan cerita film ini.

Pertama, kehadiran Baiocco, yang disinyalir adalah teman Antonio. Saya doyan nonton film, dan insting-insting pengamat saya minggu lalu membatin, “Ini karakter gendut kayak gini, kalo nggak jahat, pasti selingkuh sama Maria. Dalihnya, Maria bantuin Antonio karena keuangan keluarga tipis. Konflik bertambah, nggak cuma kehilangan sepeda.”—tet tot, saya salah, karena ternyata Baiocco murni seorang teman yang tulus membantu mencarikan sepeda saja.

Kedua, scene Antonio mengejar pengemis tua keluar dari gereja sampai ke tepian sungai. Beberapa menit setelah dia menyuruh Bruno untuk menunggu di jembatan, terdengar kehebohan-kehebohan. Lagi, insting pengamat saya berseru, “Bah, bunuh diri si Bruno. Pasti lompat ke sungai dia. Nyesel dah itu Antonio barusan nampar Bruno.”—jeng net, waktu diketahui ternyata seorang pemuda yang tengah berenang kemungkinan terseret arus, ingin rasanya saya gali kuburnya sang sutradara.

Namun, satu hal yang sedikit mengganjal menurut saya adalah; di antara sekian banyak pelamar kerja yang mengantre, mengapa Antonio Ricci yang dipilih menjadi penempel poster? Dia tidak punya sepeda, bung! Mengapa tidak memilih pelamar yang sudah punya sepeda dan siap kerja saja?

Hubungan antara judul notes ini dengan isinya saya padankan dengan satu scene paling monumental buat saya. Sepanjang pencarian sepeda, tidak pernah sekalipun Antonio menggandeng tangan Bruno; tidak peduli seberapa seringnya kamera meng-shot muka melas Bruno yang melihat kepada wajah ayahnya, mendongak ke atas dengan pandangan tetap mengidolakan. Tapi, selalu ada tapi—di akhir film; Antonio menunjukkan emosi terdalamnya yaitu dengan menitikkan tangis (ingat, dia adalah kepala keluarga yang dituntut untuk bisa mengatasi segala hambatan dengan kepala tegak) sambil menggenggam tangan mungil Bruno yang masih shock ya-ampun-papa-kenapa-nekat-nyolong-sepeda??—dan, pastinya, keironisan dari tokoh Antonio sendiri. Konflik awal adalah sepedanya dicuri orang, penyelesaiannya adalah dia berusaha mencuri sepeda orang namun gagal. Menjelang akhir film, penonton disuguhi konflik batiniah Antonio. Penonton nyaris dipastikan dapat membaca pikiran Antonio ketika dia terduduk lesu di trotoar, “Aku harus mendapatkan sepeda. Terserah seperti apa caranya. Tanpa sepeda, aku tidak bisa lagi bekerja. Maria harus makan apa? Bagaimana Bruno membayar sekolahnya?” dan muncullah di penglihatannya sepeda yang bertengger manis itu. Logikanya, jika seseorang bisa mencuri sepedaku, kenapa aku tidak bisa?

Tidak berlebihan, jika sekiranya judul notes ini adalah Manusia Memang Menarik.

# # # #

 the end

3 comments:

  1. Tanpa basa basi langsung mengarah ke cerita, lagi penasaran sama film2 jadul item putih Sinopsis Film, Review Film, Resensi Film, Cerita Film

    ReplyDelete
  2. Yg jual seprei itu duitnya bukan buat beli sepeda bekas tp buat nebus sepedanya si antonio sendiri yg digadaikan. Cmiiw

    ReplyDelete
  3. Wow! Finally I got a blog from where I be able to actually obtain useful information concerning my study and knowledge.

    ReplyDelete

I (F/30) am my father's son

when he actually has two.                         My 9 years junior dislikes his middle name, cutely given after a French legend because our...