Tuesday, June 11, 2013

#27 dongeng patah hati (ini judul buku bukan judul entri)


entri ini ditulis bukan untuk menyakiti beberapa oknum tertentu, kayaknya sih bukan. entri ini lebih menjurus ke sebuah "kritikan tak mendasar seorang penulis yang setelah karyanya sempat ditolak gagasmedia kemudian dia pikir dia getir sama penerbit itu padahal enggak sama sekali karena dia macho."

kira-kira begitu.

satu hal yang bisa gua simpulkan setelah membaca kumpulan cerpen dongeng patah hati (KCDPH) adalah betapa populernya sudut pandang orang pertama yang digunakan oleh 18 penulisnya. gua pernah nanya sama ichahoo dan yoyon tete kenapa mereka lebih milih pake 1st POV itu; soalnya jadi lebih gampang buat menyampaikan emosi si tokoh utamanya.

kalo gua sesungguhnya geli sama 1st POV. geli dikira pembaca gua sebagai penulis menginvestasikan separuh/seperempat/sepertiga diri ini ke dalam sudut pandang tokoh utama novelnya. cih. dan kadang gua sebagai pembaca, yah, gua emang sering curiga kalo memang begitulah yang dilakukan oleh penulis-penulis cerita teenlit tersebut. mereka curhat dengan sarana - dengan wadah yang tidak konvensional; melalui tokoh utama novel mereka. nih gua kasih muka si cony,

do you get my point? curhat. ew.

KCDPH gua beli (dan gua baca) semata buat ngeliat pasar penulis yang nembus penerbit gagasmedia karena sampul novel-novel dari gagasmedia selalu oke punya selalu keren dan jempolan pokoknya.

ahem.

setelah membaca KCDPH, ego gua sebagai penulis pun lumayan terhina. sehina nyaris semua cerpen yang ada di KCDPH, karena gua harus akui ada tiga/empat cerpen yang semestinya nggak disandingkan sama produk-produk hina di situ; semestinya tiga/empat cerpen itu punya buku sendiri, maksudnya. dan hina disini tentunya sesuai dengan standar hina yang bamby usung karena belum tentu kita punya standar hina yang sama; dan gua mau ulang sekali lagi, gua beneran terhina waktu ngebaca KCDPH.

gua mungkin nggak bisa terlalu sok kalo menyangkut soal plot, karena gua tau gua rada lemah di situ; terlebih plot cinta-cintaan antara cewek dan cowok. jadi yang bisa gua tekankan mengenai kenapa gua terhina itu…lebih ke gaya penceritaan dan pemilihan frase dan eksekusi plot mereka.

intinya, mereka nggak se-pro mbak anastasia aemilia penulis katarsis. kecuali yang tiga/empat cerpen itu.

gua nggak bilang gua pro. sejujurnya gua bingung bikin plot percintaan cewek dan cowok yang nggak klise dan nggak maksa dan nggak bikin pembaca bete kayak gua waktu baca KCDPH. lalu apakah gua lebih baik daripada mereka? nggak juga, karena mana bam lo seperti ngemeng doang nggak ada direalisasikan novel perdana lo itu. ah. kesal, mungkin? yaelah. terheran-heran? nah, bisa jadi gua terheran-heran. sampah begitu bisa diterbitin, di gagasmedia pula, sementara elo yang masih terbelenggu rasa heran itu bakal terus dibikin heran karena lo nggak juga bergerak dan menggebrak.

makasih, bam.





oh ya teman-teman ini ada cuplikan dari chapter satu novel gua yang kayaknya mau gua…nggak lanjutin soalnya ora ono tokoh ceweknya (maaf, kebiasaan akut yang tengah berusaha diubah, suwer).





Summary:
    Enggar pikir beginilah dia akan melewati usia tujuh belasnya; belajar untuk Ujian Nasional dan kadang-kadang nonton film di bioskop dan jogging keliling kompleks perumahannya sebelum adzan Subuh berkumandang.
    Enggar pikir, di usia tujuh belas, tidak akan ada apapun itu yang mampu mengalahkan kedahsyatan kematian mendadak adiknya tahun lalu.
    Tapi tentu saja bukan begitu aturan mainnya.




PENA Enggar terhenti di . setelah mengisi kolom Tempat/Tanggal lahir dengan Jakarta, 31 Desember 1995.

    Dia pikir ‘membaca’ atau ‘mendengarkan musik’ atau ‘basket’ atau ‘sepak bola’ atau ‘berenang’ atau ‘nonton film’ bukanlah kegiatan yang bisa dia tulis sebagai jawaban untuk kolom Hobi yang tertera pada formulir pengenalan diri yang dibuat oleh wali kelas barunya.

    Karena...yah. Karena mereka bukan hobinya. Dia hanya, seperti manusia pada umumnya, melakukan kesemuanya selama kurang lebih tujuh belas tahun hidupnya; begitu saja. Berulang-ulang. Beberapa memang mengharumkan namanya dan menghadiahinya trofi-trofi berkilauan, terpajang di rak kayu di ruang tamu rumahnya, tapi tidak ada gejolak berlebih yang lantas mentahbiskan salah satu dari sekian banyak kegiatan dalam kehidupan Enggar Ananta sebagai hobi.

    Enggar mengintip formulir pengenalan diri Stefan, teman sebangkunya yang sudah sampai pada kolom Universitas impianmu.
   
    Hobi: Fotografi, edit video, main gitar :)
    Universitas impianmu: UI Teknik Elektro. ITB.

    “Eits,” Stefan nyengir sambil menutupi formulir pengenalan dirinya dengan lengan dan bahu kanannya. Enggar tidak balas nyengir tapi justru menatap serius Stefan, terus menatap selama beberapa detik lebih lama, dan akhirnya kembali pada formulir pengenalan diri miliknya.

    “Kenapa?” Stefan mengangkat sebelah alisnya dan duduk rapi seperti semula. “Beginian nggak penting, ya?”

    Kali ini Enggar hampir nyengir.

    “Gue nggak sekeren yang Gallant bilang.”

    “Ah.” Stefan mengangguk maklum. “Emang dia tuh suka sama lo. Sedih banget nasib lo, Nggar.”

    “Asal dia seneng.”

    “Hahahanjirrr.”
   
    *

    Pada akhirnya Bu Rita memanggil Enggar ke Ruang Guru sepuluh menit sebelum bel istirahat kedua berbunyi. Beliau mempertanyakan kenapa Enggar mengosongkan kolom hobi, universitas impian, dan motto hidupnya.

    “Saya―” Enggar mengernyitkan alisnya pada setumpuk formulir pengenalan diri murid-murid kelas XII-A yang ada di meja kerja Bu Rita dan teringat bahwa Bu Rita adalah guru Bahasa Inggris berusia tiga puluhan yang baru saja menikah.

    “Just because, Ma’am.” Enggar tidak suka mengangkat bahu di saat dia tidak berminat untuk menjawab atau menimpali atau berinteraksi dengan orang lain―aspek krusial yang membuat Gallant yakin kalau dia adalah cowok ter-cool seantero jagad―karena buat Enggar, mengangkat bahu terkesan mendegradasi tingkat intelijensinya. Tapi dia juga tahu tidak menjawab pertanyaan Bu Rita barusan adalah sikap tidak sopan yang bisa saja menjadi stereotip yang akan Bu Rita hadiahkan untuknya selama beliau menjadi wali kelasnya.

    Jadi, menjawab dengan subjek yang adalah bidang utama Bu Rita menjadi pilihannya. Dia menambahkan, berharap terdengar cukup demokratis, “No reason.”

    “Alright,” nada bicara Bu Rita terdeteksi geli-namun-tertarik, “would you like any help to determine your field of interest?”

    “That would be―” alunan Fur Elise dari Beethoven memotong kesediaan Enggar menerima bantuan Bu Rita. Satu menit lamanya Enggar mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut Ruang Guru.

    “Gimana?” Bu Rita masih tersenyum dan Enggar mengangguk singkat. “Nice! Kalo kamu udah siap, langsung aja konsultasi sama Ibu, oke?” Enggar mengangguk lagi secara otomatis.

    Seolah memahami kebisuan dan kedataran wajah Enggar adalah murni, beliau dengan ceria mempersilakan Enggar untuk menikmati waktu istirahat.

    Enggar mengucapkan terima kasih, mengantongi kedua tangannya di saku celana ketika berjalan menuju pintu, dan mendapati Gallant, Stefan, dan Ical sudah menantinya di koridor.

    “Kenapa, bro?” Stefan mengedikkan kepalanya ke arah Ruang Guru.

    Enggar menggumam.

    Gallant tidak membuang waktunya untuk segera merangkul bahu Enggar, lengkap dengan senyuman genit mengerikan yang tidak pernah absen membuat Ical terkikik dan Stefan menjulingkan matanya.

    “Kangen deh sama Enggar,” kata Gallant.

    (Enggar yang minggu lalu akan menghempaskan rangkulan Gallant tanpa ampun, tapi ketika menyadari resistansinya hanya membuat jeritan-jeritan fansclub Gallant(1) semakin menjadi, dia pikir mungkin tidak ada salahnya untuk ikut andil dalam Permainan Homo-Homoan ini.

    Ini baru hari Senin, minggu ketiganya menjadi murid kelas dua belas, dua hari yang lalu dia dan Gallant masih pergi Jum’atan bareng. Siapa yang bakal keluar jadi pemenangnya, bahkan seorang Enggar yang-katanya-Gallant-itu-cool pun penasaran.)

    “Kok lo nggak nyikut gue, Nggar?” Gallant menghentikan langkahnya. “Biasanya, harusnya, gue udah kena sikut lo dan gue sok mewek. Sementara elo dengan kerennya nyuekin gue,” dia memeriksa suhu badan Enggar, “lo nggak sakit, kan?”

    Stefan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ical menertawakan Stefan yang entah kenapa sangat terganggu dengan Permainannya Gallant.

    “Harusnya lo bisa terima gue apa adanya,” Enggar melingkarkan lengannya ke pinggang Gallant. Pose mereka cukup malu-maluin karena mereka berdiri sama tinggi, dan Stefan dan Ical mulai menjauhi mereka secara konstan. Koridor lantai satu masih dibanjiri lautan siswa dan siswi kelaparan yang bereksodus ke kantin, dan tak lama, teman-teman Gallant dari kelas lain yang kebetulan melihat―dari kelas sepuluh sampai dua belas karena Gallant adalah Cowok Paling Populer, Supel, Humoris, dan Jangan Lupa Ganteng―bersiul-siul iseng diikuti dengan cekikikan cewek-cewek fans beratnya Gallant.

    (Biasanya, harusnya, Enggar tidak suka dengan keramaian―terlebih menjadi pusat perhatian―tetapi melihat Gallant yang pembawaannya nyantai mendadak gelagapan, yah. Lumayan lah.)

    “Anjir anjir,” Stefan mendorong Gallant lepas dari pelukan Enggar. “Anjir, kenapa gue punya temen goblok-goblok gini?!”

    “Stefan trauma kayaknya.” Ical dengan damai berkomentar, dan Gallant menyikutnya. “Aw! Nggar, pacar lo nakal nih!” Ical mencibir, tapi dia lari mencari perlindungan di balik badan Enggar ketika Gallant mengangkat tangannya lagi.

    “Njir, Cal, lo jangan ikut-ikutan!” Stefan membelalakkan matanya.

    “Sakit njir...” Ical mengelus-elus dadanya sebelum dia tancap gas ke kios nasi kuning yang berada di ujung kantin.

    Mereka berempat mengantri di sana; Stefan sibuk dengan ponselnya, Ical bercanda dengan ibu penjual, dan Gallant menepis semua gosip yang dilontarkan padanya dengan senyuman paling memikat yang sering dia gunakan sementara Enggar diam tepat di hadapannya. Berani taruhan, Gallant tidak akan pernah kapok dengan tingkahnya yang memang layak menjadi bahan gosip satu sekolah, dia hanya sedikit terkejut terkait seberapa kooperatifnya Enggar tadi.

    Mereka mendapat meja kosong di dekat kios nasi kuning tersebut, dan benar saja, Gallant duduk di sebelah Enggar; menggeser bangku plastiknya sepersekian senti lebih dekat lagi sampai kedua lengan mereka bertempelan. Enggar kidal, Gallant tidak, dan sepertinya Gallant cukup senang dengan ketidaknyamanan yang diciptakannya.

    “Anjir.” Stefan menciduk sesendok nasi kuning dengan kekuatan yang tidak perlu. Ical dengan acuh menambahkan sambal kacang banyak-banyak ke piringnya.

    “Ini makhluk mulutnya perlu dipasang filter,” Gallant berkata prihatin, “Fan, kenapa sih lo bete banget kalo liat gue mesra sama Enggar?”

    “Anjirrr...” Stefan menarik napas dalam-dalam, tetapi tidak terpancing oleh keabsurd-an yang di otak Gallant adalah topik yang tepat untuk membuka obrolan ringan di siang hari.

    “Kalo gue nggak tau lo naksir berat sama Maya gue ngeliatnya lo jeles karena gue mesra banget sama temen sebangku lo.” Ical menyambut ajakan tos dari Gallant dan Stefan membuat tanda salib dengan terburu-buru, kemungkinan besar berdoa tidak ada seorang pun yang mendengar ocehan Gallant tentang Maya atau berdoa agar dikuatkan imannya supaya dia tidak membunuh Gallant dengan garpu yang dicengkeramnya.

    Enggar menonton teman-temannya bertingkah, karena kalau Gallant adalah leader nyeleneh mereka dan Stefan adalah Si Kurang-lebih Normal dan Ical punya Mental Anak TK, maka Enggar adalah Penonton Setia yang masih belum paham alasan kenapa Gallant, Stefan, dan Ical tiba-tiba mendatanginya di hari pertama mereka menjadi teman sekelas dan mengajaknya jajan di kantin bersama. Bahkan Stefan―setelah kalah main hompimpa―menawarkan diri menjadi teman sebangkunya Enggar dan membawakannya amplang keesokan harinya.

    (Enggar punya beberapa teori Kenapa. Mungkin dirinya terlihat nelangsa sendirian mendengarkan musik di iPodnya, duduk diam di bangku barisan paling belakang kelas XII-A yang ramai oleh jeritan-jeritan senang asyik-kita-sekelas-lagi! Mungkin Stefan yang memang datang terlambat tidak kesampaian bertempur untuk mencari bangku dan/atau teman sebangku yang bukan orang asing, dan hanya Enggar yang tersisa. Mungkin Gallant benar-benar suka padanya? Ha ha.)

    Enggar mengerjapkan matanya ketika ada sesendok penuh nasi kuning datang dari arah Gallant, yang tengah tersenyum penuh harap. Dari sudut matanya, Enggar melihat Ical menodongkan iPhone berhiaskan stiker Shaun the Sheep milik Gallant di udara, siap mengabadikan momen yang hanya bisa terjadi kalau saja tidak ada seseorang yang menyenggol badan Enggar sampai dagunya terantuk sendok yang akhirnya jatuh ke lantai kantin.









(1)
adjective: |ˈgalənt| (of a person or their behavior) brave, heroic.

noun: a dashing man of fashion, a fine gentleman.


















gimana, sodara-sodara, cuplikan novel-yang-kayaknya-kurang-potensial-buat-pasar-indonesia punya gua? komentarnya ditunggu; masukan, kritik, ih bam keren, dan saran.

atau apa gitu kue gua juga mau.

p.s. itu judulnya "anak laki-laki" dan gallant bukan tokoh utama keduanya. sayangnya. haha.







2 comments:

  1. Mau baca lanjutannyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa XDD
    Mana mana? Siaul, penasaran abis sama si Enggar itu!

    ReplyDelete
  2. ini dia miss-gua-harus-manggil-lo-apaan.

    enggar emang rada-rada.
    gua cuman mikir kalo enggar dijadiin novel perdana...kayaknya bakal susah diterima sama pembaca di indonesia. haha nasip.

    ReplyDelete

I (F/30) am my father's son

when he actually has two.                         My 9 years junior dislikes his middle name, cutely given after a French legend because our...